23 October 2008

Belajar dari Mas Syaiful

Sebenarnya kejadian ini udah agak lama, kira2 seminggu yang lalu… .Hari itu aku ada training di Kemang…jadi seminggu ini aku tidak ke kantor. Rencananya abis training aku langsung meluncur ke rumah temanku di Slipi. Segera setelah training selesai, dengan nebeng mobil teman aku akhirnya turun di perempatan mampang lanjut dengan bus besar…(gak tau aku busnya, bus PPD kali). Sore itu kira2 masih jam setengah 5 an, belum begitu petang. Alhamdulillan bus yang kutumpangi lancar-lancar saja. Setelah sampai slipi segera aku turun untuk melanjutkan perjalanan ke daerah Palmerah, naik mikrolet no 9. Setelah sampai di alfamart Rawa Belong, aku telpon temanku. Nunggu sih…lumayan lama… menjelang maghrib barulah dia datang. Setelah ngobrol cukup lama sambil makan steak di Obong, kita pisah.

Badanku meriang waktu itu …rasanya nggliyeng (ringan seakan-akan mau jatuh), daripada telat maghrib di kos, kusempatkan sholat maghrib di dekat Obong Steak itu… abis itu barulah kunaiki mikrolet 09 menuju slipi lagi. Di perjalanan kusempatkan melihat kanan kiri jalan kalo-kalo melihat tukang sol sepatu…..hehehehe…sepatu ketsku tidak berlidah yang sebelah kiri alias copot…..tapi kadang masih kupake dengan mengkamuflasenya, caranya lidah yang udah copot tadi kupasang seolah-olah masih terpasang, toh juga gak akan copot karena diatasnya ada tali sepatu. Masalah yang muncul adalah ketika sepatu dicopot, ketika tali sepatu sudah terurai maka heheheheheh (malu aku) lidah sepatu tadi otomatis akan jatuh dengan sombongnya….halah…
Sambil menahan dinginnya malam itu (sebenernya gak dingin sih , hanya karena aku sakit saja) kucoba tengok kanan kiri tapi nihil. Tapi untunglah di Slipi setelah turun dari mikrolet 09 kutemukan tukan sol sepatu di bagian tengah paling belakang warung-warung kaki lima yang berserakan di sepanjang perempatan.
Kuhampiri dia, dia mengangguk ketika kutanyakan apakah bisa menjahit kembali lidah sepatu yang telah copot itu….segera kucopot sepatuku dan kuserahkan bagian yang kiri kepadanya, sebagai gantinya dia menyodorkan sandal jepit untuk kupakai sebagai alas kaki.

Hening sejenak….Sepintas dia nampak diam, kulitnya hitam dengan badannya yang kurus. Dia nampak asyik mengamati sepatuku…melakukan check up apakah lidah sepatuku bisa dipasang kembali. dia mengangguk kedua kalinya ketika kutanyakan apakah lidah itu masih bisa dipasang lagi. …aku diam… dia terlihat sibuk…di sekelilingku banyak terlihat lalulang orang, dengan kepentingan berbeda-beda. Maklum Slipi adalah salah satu kawasan yang merupakan tempat pertemuan mobil-mobil, mikrolet, bus dengan trayek bermacam-macam….tak heran kawasan itu tumpek blek pedagang dengan aneka dagangan yang bermacam-macam. Pedagang handuk, peralatan elektronika, pakaian anak-anak, lem tikus, Koran dan majalah, alat-alat tulis, kaset-kaset bekas sampai dengan tukang sol sepatu yang saat ini ada di sampingku. Mas syaiful terus saja asyik menjahitkan lidah sepatuku ke bagian yang semestinya…sementara si tukang kaset terus saja memamerkan suara kasetnya dengan suara yang begitu memekakkan.

Iseng-iseng untuk memecah keheningan, kutanyakan namanya ….
“Namanya siapa mas ..”
“Syaiful” dia masih terlihat asyik sambil sesekali melihatku….
“kayaknya keturunan India ya Mas” tanyaku sopan

dia mulai mendongak kearahku tak lupa tangannya terus saja menjahit lidah sepatuku.
Dia tertawa mendengar pertanyaanku…sifat pendiamnya lama lama pudar…….mulailah dia bercerita …….
“Saya keturunan melayu mas tapi ada darah padangnya juga” begitulah kalau tak salah dia berkata….”Kalau mas orang mana” dia berbalik tanya.

“Magetan, tau kan pak…itu sebelahnya Madiun” langsung saja kujelaskan. Maklum banyak orang gak tau kota Magetan, barulah mereka manggut2 ketika kota itu ternyata dekat sama Madiun.

“Ohhhh……, saya pernah tu ke jawa timur…..ke pasuruan….saya dulu pernah kerja di pasuruan Mas, capek mas kerja serabutan disana” dia menerawang sebentar. “Kalo mas kerja di mana “ doa balik bertanya.
“Di Bank mas” sahutku sambil memperhatikan cara dia menjahit.

Hening sejenak…suara musik si penjual kaset terasa tidak enak di telinga….dari jauh kudengar teriakan kenek angkot dan kenek bus saling bersahutan tak mau kalah….”Grogol, grogol, grogooool, tenabang, tenabang……” banyak suara berbeda saling bersahut-sahutan.

“Enak ya mas kerja di Bank” belum selesai dari nada bicaranya……”Sekarang kita-kita ini yang susah, semua mahal, sembako gak terjangkau” dia melanjutkan, “katanya era reformasi, apanya sih yang direformasi..?” gaya retorikanya keluar…”kalo mas pikir, sejak Megawati sampai sekarang ini…mana sih pembangunan yang dapat kita nikmati” Dia terus saja berbicara “ kalau tau kaya gini, yah mending kembali ke jaman pak Harto” tangannya terus saja menjahit. Baru kutahu ternyata orang ini jauh dari pendiam. baru sebentar, dia bicara lagi, “ Sekarang , kita yang kecil ini semakin susah mas, gak aman lagi. Dulu waktu jaman pak Harto harga sembako stabil, kita merasa aman, aman dari preman dan pungutan liar. Ini bukannya mengagung-agungkan pak Harto lo mas, tapi kenyataannya ya seperti itu mau gimana lagi….betul kan Mas” Dia tertawa sambil memandangku.

Aku tertawa, analisis politik yang polos pikirku. Untuk orang sekelas mas Syaiful, pemikiran seperti itu sah-sah aja. Walaupun tidak juga salah.

“Katanya Pak Harto korupsi mas” kupancing dia dengan jawabanku.

Dia terkekeh lagi…” Kita mah gak peduli mas mau korupsi atau gak, yang penting di jaman dia kita masih mampu makan nasi yang bagus, masih mampu nyekolahin anak. Kalau untuk rasa aman mas, bener bener sekarang ini mudah sekali orang bunuh orang…. Kayak nyawa kita 1000 aja” Dia terus saja berbicara…..”sekarang ini mas koran dan tv mana sih yang tidak menyiarkan berita korupsi ?, dimana-mana korupsi… dulu jaman pak harto katanya korupsi tapi toh kita yang kecil ini masih bisa makan dan hidup layak, lha sekarang !!? Gara-gara mereka kita semakin menderita. Susah mas susah…” dia geleng-geleng kepala. Serius sekali gaya bicaranya, seolah-olah tidak perduli lalu lalang di sekitarnya. .”.Sekarang ini mas “ dia berdiri. Badannya diregangkan. “ Bangsa kita perlu pemimpin, gak perlu tittle mas, buat apa gelar tinggi-tinggi kalo melempem” Aku tersenyum mengiyakan.
Dia meneruskan “ Kita butuh pemimpin yang berani dan jujur, itu saja, korupsi tidak akan bisa tuntas kalau Pemimpinnya melempem” 2 kali kata melempem dia ucapkan. Aku gak tau kata itu untuk siapa. Aku serius menyimak kata-katanya, sebenarnya kata-kata itu sudah sering kudengar di TV dan di Koran. Akan tetapi kalau kata itu keluar tukang sol sepatu….. ??? jarang kudengar.

Aku berpikir, mas Syaiful benar. rakyat kecil emang sekarang semakin susah. Susah sandang, susah pangan, susah pendidikan. Apalagi dipeparah dengan bencana alam.

Seakan-akan tahu apa yang kupikirkan, mas Syaiful kembali berbicara “Mas boleh percaya atau tidak, tapi ini nyata mas. Dari jaman bu Mega sampai sekarang bencana alam tak henti-hentinya datang, mulai dari longsor, gempa bumi sampai banjir banding. Ini artinya apa Mas, alam tidak merestui mereka. Apalagi kita lihat akhir2 ini, gempa bersusulan, tsunami bermunculan…bener bener alam enggan dengan mereka” aku tersenyum akan pilihan kata yang diucapkannya, terasa berbau sastra. “dulu kayaknya gak ada tuh seperti itu “ Dia melanjutkan sambil tangannya mencoba mengetes lidah sepatuku dengan dicoba ditariknya, nampaknya sudah cukup kuat jahitannya, tandanya tugasnya sudah selesai.

Dia tertawa sambil meletakkan sepatuku yang sudah jadi di depan kakiku, “Jangan dipikir serius lho mas….. yah gini ini, orang kecil kaya saya hanya bisa ngomong saja, ”

aku tersenyum, kemudian tertawa “ ya ya ya pak memang itulah kondisi kita sekarang” hiburku mencoba menarik kesimpulan. “tapi yang pasti kita harus tetap semangat kan Mas !!!?? “ aku melihat dia sekilas, lalu berdiri memakai sepatu, lidah sepatu ku sudah menempel lagi. Pas di tempatnya. Kuucapkan terima kasih , tak lupa kuberikan beberapa lembar ribuan untuk ongkos menjahitnya.

“terima kasih mas” dia menerimanya dengan senang hati.
“semangat itu tetap ada mas, sampai hari ini dan selamanya, karena dengan semangat itulah kita bisa menjalani hidup dengan sempurna” ……….wow luar biasa… kata mutiara yang jarang kudapatkan di jalanan, di hiruk pikuknya suasana malam ibu kota yang semakin angkuh dan pongah, dari tukang sol sepatu yang selalu hidup sederhana dan apa adanya.

Aku tersenyum. Lebar. Waktu sudah semakin malam. Kujabat tangannya.

“Saya pergi dulu mas, ntar keburu malam, semoga mas Syaiful baik-baik saja” hanya itu yang bisa kuucapkan.

“Hati-hati juga mas, terima kasih banyak ya” dia membalas.

Aku pergi menyeberang jalan menuju Bus jurusan Sudirman. Aku masih tertegun. Aku yang seharusnya berterima kasih mas, banyak pelajaran kehidupan yang kupetik malam ini. Pelajaran yang tidak bisa kudapatkan bangku sekolah. Pelajaran dari seseorang yang begitu ikhlas dan semangat dalam menjalani kehidupannya, setidaknya begitulah menurutku. Tak lama kemudian bus 213 jurusan Grogol – Kampung melayu telah mengangkutku menuju Sudirman, aku gembira….entah kenapa rasa meriangku sudah jauh berkurang. Sayup sayup masih kudengar suara musik dan teriakan para kenek yang saling bersahutan tanpa henti…”Tenabang…tenabang…Grogol..grogool…”


Kamis 23 Oktober 2008 Jam setengah satu siang.
(mau pingpong dulu ah……)

No comments: